Lalu apa bedanya mendidik dan mengajar?
Apa
beda antara menerbangkan pesawat besar A380 500 penumpang dengan
pesawat kecil twin otter 6 penumpang? Dua-duanya bisa terbang, bahkan
twin otter lebih cepat terbang. Tapi muatannya lebih banyak pesawat
besar, tentu saja. Bedanya adalah pada panjang landasan. Pesawat kecil
landasannya pendek, pesawat besar harus panjang.
Mengapa cobek
batu jauh lebih murah daripada keramik cina? Perbandingan harganya bisa
mencapai ribuan kali lipat. Mengapa? Karena proses pembuatan keramik
cina lebih sulit. Namun hasil keramik cina jauh lebih bermutu tinggi.
Itulah
beda mengajar dengan mendidik. Mendidik memerlukan landasan yang
panjang dan ketelatenan proses yang sulit. Agar hasilnya mampu
mengangkat beban berat dan berkualitas tinggi.
Pada prinsipnya PENDIDIKAN menjalankan tiga fungsi sekaligus :
- Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang.
- Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang di harapkan.
- Ketiga,
mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan
peradaban.
Butir kedua dan ketiga di atas memberikan pengertian bahwa
Mendidik bukan hanya
“Transfer of Knowledge” tetapi juga
“Transfer of Value”. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi umat manusia. Sementara
Mengajar hanya sampai pada tataran
Transfer of Knowledge.
Dan lebih dalam dari itu dalam pelajaran spiritual, siswa akan diberikan Transmitter Energy dari alam KeTuhanan yaitu
Transfer Energi Cahaya Ilahi “Nur Muhammad“, lengkap beserta
The Way of Life System yang diperlukan untuk menumbuhkan
Sistem Kultivasi di dalam diri siswa.
Sistem Kultivasi ini merupakan sebuah
Sistem Sukses Otomatis
yang akan membimbing Hati Nurani siswa agar meraih keselamatan dan
kesuksesan selama hidup di dunia dan di akhirat. Walaupum sistem ini
berasal dari Tradisi Agama Islam sebagai Agama saya, namun aplikasinya
bersifat Universal dan dapat digunakan oleh siapa saja. Asal dia mau
menjalani Syarat Rukun atau Tata Cara yang berlaku dalam pendidikan
Spiritual yang saya berikan. Karena sistem ini berdasarkan Fitrah Dasar
Manusia serta berdasarkan Sunnatullah (Hukum Universal Alam Semesta).
“Education is not preparation for life; education is life itself“ -
Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapi kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri -John Dewey-
Secara umum, PENDIDIKAN meliputi 3 hal pokok yang dituju bagi siswanya, yakni
Afektif, Kognitif dan Psikomotorik.
- Afektif yakni yang berkaitan dengan sikap, moral, etika, akhlak, manajemen emosi, dll.
- Kognitif yakni yang berkaitan dengan aspek pemikiran, transfer ilmu, logika, analisis, dll.
- Psikomotorik adalah yang berkaitan dengan praktek atau aplikasi apa yang sudah diperolehnya melalui jalur kognitif.
Pendidikan
merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan
manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga belajar tetapi lebih
ditentukan oleh instingnya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan
rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih
berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala
anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik
anak-anaknya, begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa
dan mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Menurut Paulo Freire,
pendidikan adalah
proses memanusiakan manusia,
sedangkan John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang
dilakukan agar ada perubahan dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan
bahwa pendidikan adalah sebuah proses transfer dan pencarian nilai yang
terjadi di level individu maupun masyarakat yang mengarah kepada
perubahan kondisi ke arah yang lebih baik. Maka sejatinya pendidikan
adalah juga proses pembebasan manusia dari insting hewaniahnya.
Terdapat
perbedaan mendasar antara mendidik dan mengajar, beberapa orang
mungkin terjebak antara definisi mendidik dengan mengajar. Padahal,
terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya. Mengajar merupakan
kegiatan teknis keseharian seorang guru. Semua persiapan guru untuk
mengajar bersifat teknis. Hasilnya juga dapat diukur dengan instrumen
perubahan perilaku yang bersifat verbalistis. Tidak seluruh pendidikan
adalah pembelajaran, sebaliknya tidak semua pembelajaran adalah
pendidikan. Perbedaan antara mendidik dan mengajar sangat tipis, secara
sederhana dapat dikatakan mengajar yang baik adalah mendidik. Dengan
kata lain mendidik dapat menggunakan proses mengajar sebagai sarana
untuk mencapai hasil yang maksimal dalam mencapai tujuan pendidikan.
Mendidik
lebih bersifat kegiatan berkerangka jangka menengah atau jangka
panjang. Hasil pendidikan tidak dapat dilihat dalam waktu dekat atau
secara instan.
Pendidikan merupakan
kegiatan integratif olah pikir, olah rasa, dan olah karsa yang bersinergi dengan perkembangan tingkat penalaran peserta didik.
Mengajar
yang diikuti oleh kegiatan belajar-mengajar secara bersinergi sehingga
materi yang disampaikan dapat meningkatkan wawasan keilmuwan,
tumbuhnya keterampilan dan menghasilkan perubahan sikap
mental/kepribadian, sesuai dengan nilai-nilai absolute dan nilai-nilai
nisbi yang berlaku di lingkungan masyarakat dan bangsa bagi anak didik
adalah kegiatan mendidik. Mendidik bobotnya adalah pembentukan sikap
mental/kepribadian bagi anak didik , sedang mengajar bobotnya adalah
penguasaan pengetahuan, keterampilan dan keahlian tertentu yang
berlangsung bagi semua manusia pada semua usia. Contoh seorang guru
matematika mengajarkan kepada anak pintar menghitung, tapi anak tersebut
tidak penuh perhitungan dalam segala tindakannya, maka kegiatan guru
tersebut baru sebatas mengajar belum mendidik.
Tidak setiap guru
mampu mendidik walaupun ia pandai mengajar, untuk menjadi pendidik guru
tidak cukup menguasai materi dan keterampilan mengajar saja, tetapi
perlu memahami dasar-dasar agama dan norma-norma dalam masyarakat,
sehingga guru dalam pembelajaran mampu menghubungkan materi yang
disampaikannya dengan sikap dan kepribadiaan yang harus tumbuh sesuai
dengan ajaran agama dan norma-norma dalam masyarakat.
Proses dalam
pendidikan seharusnya dapat menjadi proses pembebasan manusia dari
penindasan. Sejarah membuktikan telah begitu banyak proses penindasan
terjadi terhadap manusia, bahkan hingga saat ini. Karena baik si
penindas, maupun yang tertindas, sama-sama mengalami proses
dehumanisasi (kehilangan kemanusiannya) karena menyalahi kodrat manusia
itu sendiri. Sejatinya manusia harus dipandang dan diperlakukan sebagai
seorang manusia yang memiliki hak dan kewajiban serta sama harkat dan
martabatnya dengan manusia lain. Pendidikan pun seharusnya tidak
menempatkan guru/pengajar sebagai subjek dan murid/peserta belajar
sebagai objek, namun, menempatkan guru/pengajar sebagai subjek (dalam
hal ini fasilitator) dan murid/perserta belajar sebagai subjek pula.
Sehingga pendidikan kritis pun dapat terwujud dan menghasilkan manusia
yang kritis dan mampu membawa perubahan dalam masyarakat ke arah yang
lebih baik.
Jadi, jika hasil pengajaran dapat dilihat dalam waktu
singkat atau paling lama tiga tahun, keluaran pendidikan tidak dapat
dilihat sebagai satu hasil yang segmentatif. Hasil pendidikan tercermin
dalam sikap, sifat, perilaku, tindakan, gaya menalar, gaya merespons,
dan corak pengambilan keputusan peserta didik atas suatu perkara.
Konsep Pendidikan Rasulullah SAW.
Huwalladzii
ba’atsa fii al-ummiyyiina rasuulamminhum yatluu ‘alayhim aayaatihi
wayuzakkiihim wa yu’allimuhumulkitaaba walhikmata wa-in kaanuu min
qablu lafii dhalaalin mubiinin
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Jumu’ah: 2)
Dari
ayat di atas, para mufassirin menerangkan bahwa di antara tugas
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada umatnya adalah:
- Membacakan ayat-ayat Allah
- MenTazkyiyah Nafs (mengKultivasi) atau mensucikan mereka
- Mengajarkan kitab dan Himah kepada mereka.
Dan
dari ayat di atas juga bisa diketahui bahwa umat manusia sebelum
datangnya Rasulullah, dalam keadaan sesat yang nyata, yang berupa
kemusyrikan, kemerosotan akhlak dan mereka dalam puncak Perubahan besar
yang dibentuk Rasulullah saw di tengah-tengah kehidupan manusia tidak
pernah ada tandingannya sepanjang sejarah. Meski dalam keadaan yang
sangat sulit, sarana dan prasarana seadanya, dan dukungan massa
terbatas. Tak ada kata putus asa. Hingga beliau saw mampu mengikis akar
pemikiran dan tradisi jahiliyah kaumnya yang. Usaha keras Rasulullah
saw berhasil membongkar pohon jahiliyah yang tertanam kuat di dalam
hati kaum jahiliyah.
Beliau saw berhasil membangun peradaban dan
budaya pencerahan yang gemilang. Islam berdiri tegak di atas
puing-puing kejahiliyahan dan kondisi sosial primitif yang
berkepanjangan.
Hal itu tidak lain, karena beliau saw memiliki
metode pendidikan dan pengajaran yang tepat dan brilian. Metode yang
menyinergikan akhlak mulia dengan ilmu pengetahuan, mengedepankan
praktek daripada teori, bertahap dan berkesinambungan, mengorelasikan
teori pengetahuan dengan percobaan. Kesuksesan itu karena metode yang
dikawal dari Allah SWT yang ilmu-Nya meliputi segala tempat dan zaman.
Beliau
telah meretas jalan sukses dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
sehingga mampu para sahabatnya sebagai generasi yang sanggup memikul
amanah. Para sahabat radiallahu anhum kepada generasi berikutnya,
melestarikan peradaban Islam yang rahmatan lil alamin. Meski Rasulullah
saw wafat menghadap Tuhan semesta alam.
Hakekat dan Tujuan Pendidikan Nabi Muhammad SAW
Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT adalah seorang pendidik
(al-Jumu’ah: 2; al-Baqarah 151). Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa
misi dan tugas Nabi sebagai seorang Rasul adalah membacakan
ayat-ayat-Nya (
tilawah), mensucikan jiwa (
tazkiyah) yang diartikan dengan mendidik, serta mengajarkan al-Kitab dan al-hikmah (
ta’lim),
yang berarti proses mengajar untuk membekali seseorang dengan
berbagai ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan alam nyata maupun
metafisika, yang tetap bersandar pada al-Qur’an an as-sunnah. Tujuan
pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada
Allah, sejalan dengan tujuan penciptaan manusia. Ketiga tugas tersebut
dapat diidentikkan dengan fungsi pendidikan dan pengajaran yang diemban
oleh Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pendidik. Jadi, pendidikan yang
baik dan ideal harus mengandung ketiga unsur tersebut.
Rasulullah
dengan cara di atas telah sukses mendidik para sahabatnya menjadi
masyarakat yang berbudi tinggi dan mulia, dari masyarakat jahiliyah
menjadi bangsa yang berbudaya, bermoral, serta berpengetahuan. Jadi,
pendidikan tidak hanya menekankan pada orientasi intelektualitas
semata, tetapi juga menekankan pada pembentukan kepribadian yang utuh,
yang tercerminkan dalam aktifitas tilawah, tazkiyah, dan ta’lim.
Pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya,
akhlak dan keterampilannya, sehingga mampu mengemban tugas sebagai ‘
Abdullah dan
Khalifatullah adalah tujuan pendidikan Qur’ani.
Selain
itu, al-Baqarah 31 menunjukkan proses ta’lim, yaitu ketika Allah SWT
mengajarkan (‘allama) nama-nama kepada Nabi Adam. Allah mengajari Nabi
Adam nama-nama benda seluruhya, yakni pengetahuan tentang nama-nama
benda serta menjelaskan fungsi-fungsinya. Dengan demikian, secara
spesifik maka ta’lim berarti bimbingan yang menekankan kepad aspek
peningkatan intelektualitas peserta didik, itu tersirat dalam proses
penciptaan Nabi Adam, dimana Allah mengajarkan kepadanya nama-nama
sebagai bekal menjadi khalifah.
Tujuan pendidikan adalah untuk
menjadi hamba Allah SWT yang taat (adz-Dzaariyaat: 56; al-An’am, 162).
Jadi, tujuan pendidikan tidak hanya berorientasi pada kepandaian akal
semata, tetapi untuk memperoleh hidayah dan kesucian hati. Ilmu
pengetahuan harus menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sehingga ilmu harus dipenuhi dengan nilai-nilai ketuhanan (bismi
rabbika).
Al-Qur’an menggambarkan profil hamba Allah yang ideal,
yang tentunya menjadi orientasi pendidikan Qur’ani. Mereka adalah
orang-orang yang berakidah lurus, beribadah secara istiqomah dan penuh
ketundukan, serta mempunyai akhlak yang luhur. Mereka memiliki sikap
rendah hati, tidak sombong, berbicara dengan kata-kata yang baik, dan
tidak menanamkan kebencian, serta jika mereka dicela, dibalasnya dengan
cara yang baik. Mereka orang-orang yang menghabiskan sebagian malamnya
untuk melakukan shalat serta ‘amal shalih lainnya, selalu memohon
dihindarkan dari adzab neraka, dan proporsional dalam membelanjakan
harta. Mereka juga tidak berlaku syirik, membunuh, ataupun berzina,
tidak memberikan kesaksian palsu dan tidak melakukan hal-hal yang
tercela. (al-Furqan 63-77)
Tujuan pendidikan Qur’ani adalah membentuk
generasi rabbaniyyiin (ali Imran 79).
Yaitu orang-orang yang berilmu, namun tetap ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT, bertakwa,
mawas diri dalam berbicara dan bertindak, memadukan antara ilmu dan
amal, serta mengabdikan dirinya untuk mengajarkan manusia sesuatu yang
bermanfaat. Ilmu pengetahuan, pengajaran, dan proses belajar seharusnya
mengantarkan seseorang kepada tingkat rabbaniy. Jadi, pendidikan moral
untuk mencapai akhlak yang sempurna adalah jiwa pendidikan Islam.
Pengetahuan seharusnya membawa para ilmuwan Muslim untuk beriman, tunduk
dan ada rasa takut (khasyyah) kepada Allah SWT (al-Fatir 28).
Kurikulum Pendidikan
Ayat-ayat
yang menceritakan pesan-pesan Luqman kepada putranya, yang terangkum
dalam QS. 31:16 bisa menjadi acuan untuk menjadi materi (kurikulum)
pendidikan. Dalam rangkaian ayat tersebut, Luqman mewasiatkan kepada
putranya agar bersyukur, tidak menyekutukan Allah, berbuat baik kepada
orang tua, bertindak dengan berdasarkan ilmu, senantiasa merasa
diawasi Allah, mendirikan shalat, melakukan amar ma’ruf nahy mungkar,
tidak menyombongkan diri, sederhana dalam berjalan dan bersuara. Jika
dirangkum, ada tiga pesan penting dalam wasiat-wasiat tersebut; pertama
adalah penanaman tauhid, akidah yang lurus, dan pengenalan akan
keagungan Allah SWT. Jadi, fokus utama pendidikan Qur’ani adalah
pendidikan iman.
Sebab jika iman sudah benar dan tertancap kuat
dalam hati, maka akan luruslah semua aspek kehidupan seseorang. Kedua,
penegasan untuk mentaati perintah-perintah Allah SWT (syari’at).
Ketiga pengajaran tentang etika sosial berupa sifat sabar, gemar
berterima kasih, cara berjalan yang baik, merendahkan suara, dan tidak
sombong. Semua itu sejalan dengan perintah al-Qur’an yang lain bagi
para orang tua sebagai pendidik, seperti perintah untuk mendirikan
shalat (Thaha:132), dan perintah menjaga anggota keluarga dari api
neraka (at-Tahrim:6).
Meskipun fokus utama materi pendidikan
al-Qur’an adalah terkait dengan akidah, ibadah, dan akhlak, tetapi
bukan berarti aspek-aspek lainnya diabaikan. Materi yang sudah
disebutkan di atas, diberi perhatian lebih awal karena ia akan menjadi
pondasi pembentukan karakter seorang mu’min yang berakidah lurus dan
kokoh, beribadah benar dan istiqomah, serta berakhlak terpuji yang
mendarah daging. Banyak ayat lain dalam al-Qur’an yang berulang-kali
meminta manusia menggunakan akal dan panca inderanya untuk membaca
tanda-tanda alam sebagai bentuk kekuasaan Allah (Yunus: 101; an-Nahl:78
; al-Jatsiyah: 13 dan al-Baqarah: 31).
Jadi al-Qur’an tidak
hanya mendorong belajar ilmu akidah, syari’ah dan akhlak saja.
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan lainnya. Al-Qur’an menetapkan
alam semesta ini adalah ‘buku’
yang harus dibaca untuk menuju ma’rifatullah. Al-Qur’an mendorong
pembelajaran dalam konteks yang seluas-luasnya. Jadi, seorang muslim
wajib belajar sains, karena sains menjadi salah satu alat untuk
membuktikan kekuasaan Allah, selain ayat-ayat tanziliyah (wahyu).
Potret manusia yang ingin dihasilkan oleh pendidikan Qur’ani adalah
Ulil Albab,
“Yaitu
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam
keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi, (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa
api neraka.” (Ali Imran 191). Itulah cermin manusia seutuhnya
yang menggunakan hati dan fikirannya untuk selalu berdzikir kepada
Allah, bertafakkur, dan mengamati alam semesta. Kurikulum pendidikan
Qur’ani tidak memisahkan secara dikotomis antara pendidikan ‘agama’ dan
pendidikan ‘umum’. Sebab pada dasarnya semua yang ada di alam semesta
ini, sebagaimana Wahyu bersumber dari Allah SWT.
Berbeda dengan
objek ilmu di Barat- pengetahuan versi al-Qur’an tidak terbatas pada
apa yang bisa diindera saja, melainkan mencakup juga apa yang tidak
bisa diindera (al-Haqqah: 38-39). Yang tidak bisa diindera ini
(al-ghayb) tentunya hanya bisa diterima dengan pendekatan keimanan,
yang dalam prakteknya biasanya bisa dipelajari dan diperoleh dengan
meningkatkan kualitas ketakwaan, kesungguhan serta istiqomah dalam
beribadah.
Jadi, antara wahyu dan akal, atau iman dan ilmu tidak
boleh dipisahkan, karena akan menurunkan martabat manusia itu sendiri.
Iman tanpa ilmu akan menimbulkan keterbelakangan, takhayul dan
kebodohan. Sebaliknya, ilmu tanpa iman akan mengumbar nafsu,
kesombongan, kerakusan, penindasan dan penipuan. Konsep pendidikan
Qur’ani menawarkan sesuatu yang holistik yang memadukan agama dan
sains dan menekankan aspek ukhrawi dan duniawi. Tidak mungkin manusia
bisa mencapai kebahagiaan akhirat tanpa melalui jalan dunia.
Sebaliknuya, tanpa pengetahuan ‘ukhrawi’ niscaya kehidupan seseorang di
dunia akan hampa tanpa tujuan. Kebahagiaan dunia akan tidak berguna,
jika kelak di akhirat sengsara (al-Qasash: 77 dan al-Baqarah: 201).
Kesimpulannya,
konsep pendidikan menurut al-Qur’an diarahkan untuk mengembangkan
berbagai potensi manusia semaksimal mungkin, sehingga akan bermanfaat
dan juga menghasilkan rasa takut kepada Allah SWT.
Semoga bermanfaat..